Minggu, 10 November 2013

Dari Pojok Empati

Ibu jangan cari aku/jika aku tidak/mengupas bawang/Ayah jangan marah dulu/kalau aku tidak/mengangkat barang/Beri ku kesempatan/sedikit waktu/tuk belajar…

Begitulah sebait lagu yang biasa dinyanyikan panitia-pendamping bersama para peserta sanlat yang kebanyakan adalah anak jalanan dan kurang mampu. Terdengar teramat menyayat memang. Namun, seperti itulah gambaran realita hidup para peserta yang dikepung kemiskinan. Sehingga mereka perlu 'meminta kesempatan sedikit waktu' kepada ayah dan ibu untuk belajar. Jika diperbandingkan, daripada menghabiskan waktu seminggu di sanlat, sebenarnya jauh lebih menguntungkan dan menghasilkan uang jika mereka bekerja. Entah itu 'mengupas bawang' atau 'mengangkat barang'. Ya, para peserta kebanyakan adalah pekerja anak sektor informal. Mayoritas telah putus sekolah. Jadi, sanlat adalah 'sedikit waktu' mereka tuk belajar. Bergembira. Beristirahat dari hiruk pikuk jalanan.

Adalah Yayasan Nanda Dian Nusantara pimpinan ibu Roostien Ilyas yang selama dua belas tahun konsisten menggelar acara pesantren kilat untuk anak jalanan dan kurang mampu. Dalam kiprahnya yayasan ini bergandeng tangan dengan PMII Komfakda UIN Jakarta. Tak banyak yayasan yang kemudian mampu bertahan dalam hitungan belasan tahun membuat kegiatan sosial serupa ini. Maka, walau sebenarnya tak ingin dipuji, acungan jempol layak kita berikan kepada YNDN dan PMII sebagai apresiasi atas kontribusi besar mereka selama ini.


Banyak yang bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya konsep pesantren kilat anak jalanan ala YNDN-PMII? Pada mulanya, semua tentu dibangun di atas pondasi kecintaan dan kesadaran yang utuh untuk berbagi. Bu Roostien suatu waktu pernah bercerita. Ketika sedang santap sahur di bulan ramadhan, telepon rumah beliau berdering. Saat diangkat terdengar suara beberapa anak kecil. Bu Roostien segera sadar bahwa itu adalah anak-anak jalanan binaannya. Bertanya salah seorang dari mereka: Ibu sedang apa? Sedang makan sahur, Nak. Kamu sudah makan sahur? Anak-anak malah cekikian. Lalu salah seorang berujar: sebenarnya sih pengen puasa, pengen makan sahur, tapi mau sahur pakai apa? Ya sudah Bu, makasih ibu. Saya mau lihat orang makan sahur aja. Terdengar mereka meletakkan gagang telepon umum di tempatnya. Seketika Bu Roostien terhenyak. Apa yang salah dengan diriku? Apa yang salah dengan agamaku? Pertanyaan-pertanyaan itu mengelanyut di benak beliau.

Selanjutnya, sejak tahun 1998 hingga sekarang pesantren kilat anak jalanan terus digelar. Lokasi tiap tahun berubah. Disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan. Sekali waktu di Cipayung, Taman Mini dan beberapa kali di Pasar Minggu. Sedang permasalahan yang timbul setiap tahun hampir sama: pengurus masjid tidak membolehkan anak-anak jalanan mendirikan sholat di masjid. Mereka beranggapan bahwa anak-anak itu hanya akan mengotori masjid dan dimungkinkan banyak sandal jamaah yang hilang lantaran dicuri oleh anak-anak. Akan tetapi, pelaksanaan sanlat tahun ini sedikit berbeda. Masjid At Tin, sebagai tuan rumah, tak hanya merelakan lahan parkirnya, akan tetapi dengan senang hati pihak masjid memperbolehkan pelaksanaan sholat dan aktivitas kepesantrenan lainnya di dalam masjid. Baru tahun ini ekslusifitas masjid dapat didobrak.

Jika ditilik lebih lanjut konsep sanlat tidaklah terlalu muluk-muluk. Terutama materi yang disampaikan kepada peserta. Sebab, bagaimanapun peserta sanlat adalah anak jalanan. Sebagaian besar dari mereka menganggap 'agama' dan 'sekolah/menuntut ilmu' sebagai penghalang atau sesuatu yang tidak mendapatkan prioritas. Dalam kepala mereka boleh jadi hanya ada satu kata: uang. Karena dengan uang mereka bisa makan, melanjutkan hidup. Sehingga, mampu membiasakan mereka mengucap basmalah sebelum beraktivitas saja sudah jadi prestasi besar bagi para pendamping. Tidak perlu jauh-jauh mewajibkan mereka puasa penuh atau rajin sholat terlebih dahulu.

Rutinitas harian peserta sanlat terbilang cukup variatif. Diawali dengan santap sahur bersama dilanjutkan sholat subuh. Peserta mendapat materi hafalan (doa harian/surat pendek) ba'da subuh. Materi yang bersifat hafalan dipilih lantaran pada umumnya memori mereka belum banyak terisi pada pagi hari. Olahraga atau kerja bakti diwajibkan kepada peserta sebelum mereka diberi waktu istirahat hingga tiba waktu duhur. Adapun materi selepas duhur adalah mengenai wawasan umum. Misal, tentang jihad dan terorisme, Islam Indonesia atau kerukunan beragama. Pendamping bisa saja sangat menguasai materi, tapi cara penyampaian tentu harus semenarik mungkin. Anak-anak sebagai mad'u bukan pekerjaan ringan. Mereka akan sangat senang jika disisipi dongeng, lagu dan permainan. Tiga cara itu terbukti efektif untuk mentransfer ilmu kepada mereka.

Dalam mendampingi anak-anak jalanan yang tak kalah penting adalah adanya belaian dan sentuhan kecil bagi mereka. Mengusap-usap punggung atau kepala sudah barang pasti akan menghadirkan kedamaian tersendiri bagi peserta. Pasalnya, dalam keseharian mereka di rumah, hal-hal semacam itu amat jarang mereka temui atau bahkan tak pernah. Selama ini mungkin yang akrab dengan mereka adalah hardikan, bentakan, tampar, suruhan, umpat dan sejenisnya. Oleh karena itu, tak heran jika tiba-tiba sala seorang peserta menangis sesenggukan dengan alasan yang tak jelas lantaran diperlakukan secara halus dan manusiawi oleh para panitia-pendamping. Sentuhan hangat adalah bentuk nyata kasih sayang .Dan mereka merindukan itu.

Selain itu, memberi ruang curhat bagi anak-anak juga akan membuat mereka merasa dimanusiakan. Penulis dan beberapa panitia-pendamping dalam suatu kesempatan pernah berbincang dengan seorang peserta putri. Sebut saja namanya Lala. Awalnya penulis menangkap sesuatu yang menarik dari Lala. Dia berbeda dari teman sebayanya. Lala sangat pendiam, apabila bicara suaranya hampir tak terdengar, setiap kali tertawa selalu menutup mulutnya, pemalu sekali. Singkat kata, tak ditemui keriangan dari dirinya. Dari perbincangan dengan Lala, diketahui bahwa Lala saat ini sudah tak bersekolah. Ketika ditanya alasannya, sesaat kami tercengang. Saya bodoh, Kak, ujarnya. Lala bilang dia gagal masuk SMP karena nilainya ketika SD sangat rendah. Kami berpikir keras, sebenarnya ada apa dengan anak ini? Apa yang melatar belakangi sampai ia mengklaim dirinya 'bodoh'? Lantas kami melanjutkan bertanya. Ternyata, Lala adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Ibunya seorang buruh cuci dan ayahnya tidak bekerja. Kini Lala bekerja sebagai penjaga warung dengan penghasilan Rp 100.000/bulan.

Lebih lanjut tentang Lala kami tak mau berspekulasi dan menerka-nerka. Kami juga tak sanggup mengira-ngira apa yang akan terjadi pada gadis manis ini manakala ia harus menyerah pada nasib dan mengalah pada takdir. Akhirnya, di malam terakhir sanlat, seusai acara api unggun, dalam renungan yang dipimpin Bang Pacun. Kami menderas air mata dan merapal doa. Tuhan, peluk mereka dan jangan gelapkan mata mereka sehingga tak mampu menangkap cahayamu. Apapun yang terjadi dengan hidup mereka, sesusah apapun itu, jangan beri mereka alasan untuk bersedih dan membenci-Mu. Pelihara tawa riang mereka, Tuhan.

Keesokan harinya mereka harus kembali ke rumah. Kembali ke muasal peluh. Sebagian ke Tomang, Ciputat, Bojong, Pasar Minggu dan Bekasi. Serta kembali menyayikan lagu.

Mau tak mau aku harus bantu bapak/bapakku yang bukan pengusaha/mau tak mau akau harus bantu ibu/ibuku bukan wanita karir...


sumber: zakkyzulhazmi.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar